Kamis, 22 April 2010

UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA

Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh karena itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa. Berikut ini dikemukakan beberapa petunjuk untuk meningkatkan motivasi belajar siswa.
a.      Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham kearah mana ia ingin dibawa. Pemahaman siswa terhadap tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi nbelajar siswa (Sanjaya, 2009:29). Oleh sebab itu, sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai.
b.      Membangkitkan minat siswa
Siswa akan terdorong untuk belajar manakala mereka memiliki minat untuk belajar. Oleh karena itu, mengembangkan minat belajar siswa merupakan salah satu teknik dalam mengembangkan motivasi belajar (Sanjaya, 2009:29). Salah satu cara yang logis untuk momotivasi siswa dalam pembelajaran adalah mengaitkan pengalaman belajar dengan minat siswa (Djiwandono, 2006:365). Pengaitan pembelajaran dengan minat siswa adalah sangat penting, dan karena itu tunjukkanlah bahwa pengetahuan yang dipelajari itu sangat bermanfaat bagi mereka. Demikian pula tujuan pembelajaran yang penting adalah membangkitkan hasrat ingin tahu siswa mengenai pelajaran yang akan datang, dan karena itu pembelajaran akan mampu meningkatkan motivasi instrinsik siswa untuk mempelajari materi pembelajaran yang disajikan oleh guru (Anni, dkk., 2006:186).
c.       Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar
Siswa hanya mungkin dapat belajar baik manakala ada dalam suasana yang menyenangkan, merasa aman, bebas dari takut. Usahakan agar kelas selamanya dalam suasana hidup dan segar, terbebas dari rasa tegang. Untuk itu guru sekali-kali dapat melakukan hal-hal yang lucu.
d.      Mengguanakan variasi metode penyajian yang menarik
Guru harus mampu menyajikan informasi dengan menarik, dan asing bagi siswa-siswa. Sesuatu informasi yang disampaikan dengan teknik yang baru, dengan kemasan yang bagus didukung oleh alat-alat berupa sarana atau media yang belum pernah dikenal oleh siswa sebelumnya sehingga menarik perhatian bagi mereka untuk belajar (Yamin, 2009:174). Dengan pembelajaran yang menarik, maka akan membangitkan rasa uingin tahu siswa di dalam kegiatan pembelajaran yang selanjutnya siswa akan termotivasi dalam pembelajaran.
Motivasi instrinsik untuk belajar sesuatu dapat ditingkatkan melalui penggunaan materi pembelajaran yang menharik, dan juga penggunaan variasi metode pembelajaran. Misalnya, untuk membAngkitkan minat belajar siswa dapat dilakukan dengan cara pemutaran film, mengundang pembicara tamu, demonstrasi, komputer, simulasi, permaianan peran, belajar melalui radio, karya wiasata, dan lainnya (Anni, dkk., 2006:186-187 : Hamalik, 2009:168).
e.      Berilah pujian yang wajar setiap keberhasilan siswa
Motivasi akan tumbuh manakala siswa merasa dihargai. Dalam pembelajaran, pujian dapat dimanfaatkan sebagai alat motivasi. Karena anak didik juga manusia, maka dia juga senang dipuji. Karena pujian menimbulkan rasa puas dan senang (Sanjaya, 2009:30 ; Hamalik, 2009:167). Namun begitu, pujian harus sesuai dengan hasil kerja siswa. Jangan memuji secara berlebihan karena akan terkesan dibuat-buat. Pujian yang baik adalah pujian yang keluar dari hati seoarang guru secara wajar dengan maksud untuk memberikan penghargaan kepada siswa atas jerih payahnya dalam belajar (Djamarah dan Zain, 2006:152).
f.        Berikan penilaian
Banyak siswa yang belajar karena ingin memperoleh nilai bagus. Untuk itu mereka belajar dengan giat. Bagi sebagian siswa nilai dapat menjadi motivasi yang kuat untuk belajar. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan segera agar siswa secepat mungkin mengetahui hasil kerjanya. Penilaian harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing (Sanjaya, 2009:31).
Penilaian secara terus menerus akan mendorong siswa belajar, oleh karena setiap anak memilki kecenderungan untuk memmperoleh hasil yang baik. Disamping itu, para siswa selalu mendapat tantangan dan masalah yang harus dihadapi dan dipecahkan, sehingga mendorongnya belajar lebih teliti dan seksama (Hamalik, 2009:168).
g.      Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa
Siswa butuh penghargaan. Penghargaan bisa dilakukan dengan mmemberikan komentar yang positif. Setelah siswa selesai mengerjakan suatu tugas, sebaiknya berikan komentar secepatnya, misalnya dengan memberikan tulisan “ bagus” atau “teruskan pekerjaanmu” dan lain sebagainya. Komentar yang positif dapat meningkatkan motivasi belajar siswa (Sanjaya, 2009:21).
Penghargaan sangat efektif untuk memotivasi siswa dalam mengerjakan tugas-tugas, baik tugas-tugas yang harus dikerjakan segera, maupun tugas-tugas yang berlangsung terus menerus (Prayitno, 1989:17). Sebaliknya pemberian celaan kurang menumbuhkan motivasi dalam belajar. Bahkan menimbulkan efek psikologis yang lebih jelek.
h.      Ciptakan persaingan dan kerjasama
Persaingan yang sehat dapat menumbuhkan pengaruh yang baik untuk keberhasilan proses pemebelajaran siswa. Melalui persaingan siswa dimungkinkan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang terbaik (Sanjaya, 2009:31). Oleh sebab itu, guru harus mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bersaing baik antar kelompok maupun antar individu.
Namun demikian, persaingan tidak selamanya menguntungkan, terutama untuk siswa yeng memang dirasakan tidak mampu untuk bersaing, oleh sebab itu pendekatan cooperative learning dapat dipertimbangkan untuk menciptakan persaingan antar kelompok. Selain persaingan antar siswa lebih banyak pengaruh buruknya daripada baiknya terhadap perkembangan kepribadian siswa. Persaingan antara diri sendiri dapat dialakukan dengan cara memeri kesempatan kepada siswa untuk mengenal kemajuan-kemajuan yang telah diucapai sebelumnya dan apa yang dapat dicapai pada pada waktu berikutnya (Prayitno, 1989:22-230). Misalnya guru membuat dan memberi tahu grafik kemajuan belajar siswa.
Untuk mengembangkan motivasi belajar, guru harus berusaha membentuk kebiasaan siswanya agar secara berangsur-angsur dapat memusatkan perhatian lebih lama dan bekerja keras (Isjoni, 2008:162). Oleh karena itu, usaha dan perhatian guru yang besar lebih diperlukan untuk membimbing siswa-siswa yang memiliki pencapaian rendah agar mereka  memiliki motivasi belajar yang baik.
Disamping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar diatas, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif  seperti memberikan hukuman, teguran dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat dan menantang (Sanjaya, 2009:31). Namun, teknik-teknik semacam itu hanya bisa   digunakan dalam kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan dengan mmemmbangkitkan motivasi dengan cara-cara negatif lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkakn motivasi dengan cara negatif dihindari.

      DAFTAR PUSTAKA
Anni, Catharina T., dkk..2006. Psikologi Belajar. Semarang :
         Unnes Press

Djamarah, S.B, dan Aswan Zain. 2006.  Strategi Belajar-Mengajar (Edisi Revisi). Jakarta ; PT Rineka Cipta

Djiwandono, S.E.W. 2006.  Psikologi Pendidikan. Jakarta :
         Grasindo

Hamalik, Oemar. 2005.  Kurikulum dan PembelajaraN. Jakarta :
         PT Bumi Aksara

Isjoni. 2008. ‘Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Dalam Pelajaran Sejarah di Sekolah’. Dalam Isjoni dan Ismail (Eds.). 2008. Model- Model Pembelajaran Mutakhir ; Perpaduan Indonesia-Malaysia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 145-170

Prayitno, Elida. 1989.  Motivasi Dalam Belajar. Jakarta :
         Debdikbud

     Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta :          Kencana Prenada Media Group

Sasaran dan Tujuan Pembelajaran Sejarah

Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembagan serta peranan masyarakat dimasa lampau berdasarkan metode dan metodologi tertentu (Sapriya, 2009:208-209). Terkait dengan pendidikan sejarah di sekolah dasar hingga sekolah menengah, pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian siswa.

Sasaran Umum Pembelajaran Sejarah

Sasaran umum pembelajaran sejarah menurut S.K. Kochhar (2008:27-37) adalah :

1. Mengembangkan tentang diri sendiri.

2. Memberikan gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang dan masyarakat.

3. Membuat masyarakat mampu mengevaluasi nilai dan hasil yang telah dicapai oleh generasinya.

4. Mengajarkan toleransi.

5. Menanamkan sikap intelektual.

6. Memperluas cakrawala intelektualitas.

7. Mengajarkan prinsip-prinsip intelektualitas.

8. Mengajarkan prinsip-prinsip moral.

9. Menanamkan orientasi kemasa depan.

10. Memberikan pelatihan mental.

11. Melatih siswa menangani isu-isu kontroversial.

12. Membantu mencarikan jalan keluar bagi berbagai masalah sosial dan perorangan.

13. Memperkokoh rasa nasionalisme.

14. Mengembangkan pemahaman internasioanal.

15. Mengembangkan keterempilan-keterampilan yang berguna.

Sasaran Pembelajaran Sejarah Di Sekolah Menengah Atas

Fokus utama mata pelajaran sejarah ditingkat ini adalah tahap-tahap kelahiran peradaban manusia, evolusi sistem sosial, dan perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Kochhar, 2008:50). Lebih lanjut Kochhar (2008) menjelaskan sasaran utama pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah :

1. Meningkatkan pemahaman terhadap proses perubahan dan perkembangan yang dilalui umat manusia hingga mampu mencapai tahap perkembangan yang sekarang ini. Peradaban modern yang dicapai saat ini memrupakan hasil proses perkembangan yang panjang. Sejarah merupakan satu-satunya mata pelajaran yang mampu menguraikan proses tersebut.

2. Meningkatkan pemahaman terhadap akar peradaban manusia dan penghargaan terhadap kesatuan dasar manusia. Semua peradaban besar dunia memiliki akar yang sama ; dsamping berbagai karakteristik lokal, kebanyakan adalah unsur-unsur yang menunjukkan kesatuan dasar manusia. Salah satu sasaran utama sejarah pada sisi ini adalah menekankan dasar tersebut.

3. Menghargai berbagai sumbangan yang diberikan oleh semua kebudayaan pada peradaban manusia secara keseluruhan. Kebudayaan setiap bangsa telah menyumbangkan denmgan berbagai cara terhadap peradaban secara keseluruhan. Mata pelajaran sejarah membawa pengetahuan ini kepada para siswa.

4. Memperkokoh pemahaman bahwa intereksi saling menguntungkan antar berbagai kebudayaan merupakan faktor yang penting dalam kemajuan kehidupan manusia.

5. Memberikan kemudahan kepada siswa yang berminat memepelajari sejarah suatu negara dalam kaitannya dengan sejarah umat manuasi secara keseluruhan।

Tujuan Pembelajaran Sejarah

Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesa dan dunia pada masa lampau hinnga kini (Isjoni, 2007:71). Orientasi pembelajaran sejarah di tingkat SMA bertujuan untuk agar siswa memperoleh pemahaman ilmu dan memupuk pemikiran historis dan pemahaman sejarah. Pemahaman ilmu membawa pemerolehan fakta dan penguasaan ide-ide dan kaedah sejarah (Isjoni, 2007:71 ; Hassan, 1998:113).

Sebagai sarana pendidikan, pengajaran sejarah termasuk pengajaran normatif, karena tujuan dan sasarannya lebih dutujukan pada segi-segi normatif yaitu segi nilai dan makna yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri (Alfian, 2007:1). Melalui pengajaran sejarah siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan proses perkembanagan dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jatidiri bangsa ditengah-tengah kehidupan masyarakat dunia.

Pengajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda terhadap masa lampau untuk memahami masa kini dan membangun pengetahuan serta pemahaman untuk menghadapai masa yang akan datang (Depdiknas, 2003 dalam Isjoni, 2007:72).

Tujuan instruksional pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas menurut S.K. Kochhar (2008) adalah mengembangkan (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) pemikiran kritis, (4) keterampilan praktis, (5) minat, dan (6) perilaku. Sedangkan menurut Sapriya (2009:209-210) mata pelajaran sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan :

1. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini dan masa depan.

2. Melatih daya krirtis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan.

3. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia dimasa lampau.

4. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.

5. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat di implementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional।


DAFTAR PUSTAKA


Alfian, Magdalia. 2007. ‘Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi’.
Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se- Indonesia (IKAHIMSI), Semarang 16 April 2007


Hassan, Aini. 1998. ‘Pengajaran dan Pembelajaran Sejarah di Sekolah : Guru Sebagai Broker Ilmu Sejarah’. Dalam Jurnal Masalah Pendidikan. Jilid 21. Hal 109-123. Dalam http://myais.fsktm.um.edu.my/5154/1/8.pdf (Diunduh pada tanggal 28 Desember 2009


Isjoni. 2007. Pembelajaran Sejarah Pada Satuan Pendidikan. Bandung : Alfabeta


Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Terjemahan Purwanta dan Yovita Hardiati. Jakarta : PT Grasindo


Sapriya. 2009. Pendidikan IPS. Bandung : PT Remaja Rosda Karya

PEMBELAJARAN SEJARAH : Permasalahan dan Solusinya

Oleh :


Siswo Dwi Martanto


Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro, pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggungjawab profesional seorang guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada tingkat makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggungjawab terhadap pembentukan tenaga pengajar yang berkualitas, yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota masyarakat.


Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik secara eksternal maupun internal diidentifikasikan sebagai berikut. Faktor-faktor eksetrnal mencakup guru, materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi belajar dan sistem. Masih ada pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi siswa menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan. Dengan kata lain siswa tidak diberi peluang untuk berfikir kreatif. Guru juga mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui perkembangan terakhir dibidangnya (state of the art) dan kemungkinan perkembangn yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge). Sementara itu materi pembelajaran dipandang oleh siswa terlalu teoritis, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal (Anggara, 2007:100).


Selama KBM guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar siswa belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan unuk mengikuti pelajaran lanjutan. Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Siswa belum mampu mempelajari fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum mampu menerapkannya secara efektif dalam pemecahan. Di era globalisasi ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar siswa mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan informasi, serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan.


Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya sejarah, sering dianggap sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang. Pembelajaran sejarah yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah dirasakan kering dan membosankan. Menurut cara pandang Pedagogy Kritis, pembelajaran sejarah seperti ini dianggap lebih banyak memenuhi hasrat dominant group seperti rezim yang berkuasa, kelompok elit, pengembang kurikulum dan lain-lain, sehingga mengabaikan peran siswa sebagai pelaku sejarah zamannnya (Anggara, 2007:101).


Tidak dipungkiri bahwa pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia umumnya. Agakya pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Namun sampai saat ini masih terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam pelaksanaan pendidikan sejarah (Alfian, 2007:1).



BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH


Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan memberikan pendapat tentang fenomena pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia diantaranya masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku teks, profesionalisme guru sejarah dan lain sebagainya.


Yang pertama adalah masalah model pembelajaran sejarah. Menurut Hamid Hasan dalam Alfian (2007) bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan anak melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan masa depan. Mulai dari jenjang SD hingga SMA, pembelajaran sejarah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Tidak aneh bila pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali makna dari sebuah peristiwa sejarah.


Taufik Abdullah memberi penilaian, bahwa strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle dan cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa (Abdullah dalam Alfian, 2007:2). Siswa tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa guna memahami dinamika suatu perubahan.


Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar. Model pembelajaran yang bersifat satu arah dimana guru menjadi sumber pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit untuk dirubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di kelas, sehingga menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto, dkk, 2009:10). Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989:13).


Kedua adalah masalah kurikulum sejarah, karena kurikulum adalah salah satu komponen yang menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Secara umum dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis dan dilaksanakan dalam suatu proses pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik menjadi berkualitas. Dalam sebuah kurikulum termuat berbagai komponen, seperti, tujuan, konten dan organisasi konten, proses yang menggambarkan posisi peserta didik dalam belajar dan asessmen hasil belajar. Selain komponen tersebut, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dapat pula berisikan sumber belajar dan peralatan belajar dan evaluasi kurikulum atau program.


Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum dan mata pelajaran sejarah berada didalamnya. Akan tetapi materi-materi yang diberikan dalam kurikulum yang sering mendapat kritik dari masyarakat maupun para pemerhati sejarah baik dari pemilihannya, teori pengembangannya dan implimentasinya yang seringkali digunakan untuk mendukung kekuasaan (Alfian, 2007:3).


Ketika Orde Baru bermaksud menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tujuan pendidikan nasional diarahkan untuk mendukung maksut tersebut. Tentu saja kurikulum sekolahan dikembangkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 1986 yang berlaku pada awal masa Orde Baru kemudian mengalami pergantian menjadi kurikulum 1975, kurikulum sejarah juga mengalami penyempurnaan. Demikian seterusnya terjadi beberapa perubahan kurikulum menjadi kurikulum 1984, 1994 dan 2004 (Umasih dalam Alfian, 2007:3). Kurikulum yang dipakai arahannya kurang jelas dan sangat berbau politis, artinya kurikulum yang digunakan tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentinagn dari rezim yang berkuasa. Sejarah dijadikan alat untuk membangun paradigma berfikir masyarakat mengenai perjalanan sejarah bangsa dengan mengagung-agungkan rezim yang mempunyai kekuasaan. Sistem pembelajaran yang diterapkan tidak mengarahkan siswa untuk berfikir kritis mengenai suatu peristiwa sejarah, sehingga siswa seakan-akan dibohongi oleh pelajaran tentang masa lalu (Anggara, 2007:103).


Selain masalah kurikulum yang selalu mengalami perubahan, masalah yang tak kalah pentingnya adalah masalah materi dan buku ajar/buku teks sejarah. Menurut Lerissa (dalam Alfian, 2007), masalah buku ajar ini sudah ada sejak sistem pendidikan nasional mulai diterapkan di Indonesia tahun 1946. Saat buku ajar yang dipakai sebagai bahan ajar sejarah adalah karangan Sanusi Pane yang berjudul Sejarah Indonesia (4 Jilid) yang ditulis atas permintaan pihak Jepang pada tahun 1943-1944, yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1946 dan 1950. Pada tahun 1957 Anwar Sanusi menulis buku sejarah Indonesia untuk sekolah menengah (3 Jilid). Setelah itu kemudian muncul berbagai buku ajar laniya yang ditulis oleh berbagai pihak, terutama oleh guru, salah satunya buku yang dikarang oleh Subantardjo.


Pada tahun 1970, para ahli sejarah yang terhimpun dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) mengadakan “Seminar Sejarah II” di Jogjakarta dan menghasilkan sebuah keputusan untuk menulis buku sejarah untuk keperluan perguruan tinggi dan bisa dijadikan sumber buku ajar di SMP dan SMA. Buku yang terdiri dari 6 jilid itu, kemudian juga tidak luput dari permasalahannya dan sempat memunculkan pertentangan. Tidak semua penulis menggunakan metodo;logi yang sama yang telah ditentukan oleh editor umum, Prof. sartono Kartodirdjo (pendekatan structural); masing-masing penulis membawa tradisi ilmiah yang telah melekat pada dirinya (i structural atau naratif/kisah). Pada masa itu perbedaan antara pendekatan structural dan pendekatan naratif secara metodologis tidak bisa dijembatani sama sekali. Masing-masing mempunyai domain sendiri-sendiri. Konflik yang berkepanjangan ini menyebabkan Sartono mengundurkan diri dan diikuti oleh penulis-penulis lainnya. Setelah buku tersebut dicetak ulang (1983-1984) sebagi editor umum hanya tercantum nama Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr. Marwati Djoned Poesponegoro (Alfian, 2007:5). Tahun 1993 sempat dilakukan revisi oleh RZ Lerissa dan Anhar Gonggong dan kawan-kawan, namun entah kenapa kabarnya buku itu tidak diedarkan (Purwanto dan Adam, 2005:105).


Hampir seluruh buku ajar, baik yang diterbitkan oleh swasta maupun pemerintah sebenarnya tidak layak untuk dijadikan referensi. Hampir seluruh penulis buku hanya membaca dokumen kurikulum secara harfiah dan tidak mampu memahami jiwa kurikulum dengan baik. Sebagian besar penulis buku juga tidak paham sejarah sebagi ilmu, historiografi, dan tertinggal sangat jauh dalam referensi mutahkir penulisan (Purwanto, 2006:268).


Masalah profesionalisme guru sejarah juga masih dipertanyakan, sampai saat ini masih berkembang kesan dari para guru, pemegang kebijakan di sekolah bahwa pelajaran sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting memperhatikan masalah keprofesian, sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah diberikan kepada guru yang bukan profesinya. Akibatnya, guru mengajarkan sejarah dengan ceramah mengulangi apa isi yang ada dalam buku (Anggara, 2007:102). Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan guru sejarah sebagi orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Bahkan banyak kasus ditemukan, guru sejarah menjadi sasaran untuk menaikkan nilai siswa agar yang bersangkutan dapat naik kelas. Selain itu, sebagian besar guru juga tidak mengikuti perkembangan hasil penelitian dan penerbitan mutakhir sejarah Indonesia. Hal yang terekhir itu juga berkaitan denagn adanya kenyataan bahwa institusi resmi yang menjadi tempat pendidikan tambahan bagi guru sejarah itu hanya berkutat pada substansi historis dan metode pengajaran sejarah yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006:268).


Pengajaran sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal. Pelajaran sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah (Hariyono, 1995:143).



SOLUSI PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SEJARAH


Salah satu metode pembelajaran sejarah yang cocok untuk menjadikan siswa aktif dan guru sebagai fasilitatornya adalah kontruktivisme, inquiry, dan cooperatif learning. Kontruktivisme adalah bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Anggara, 2007:104). Pembelajaran sejarah kontruktivisme berkaitan dengan pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Metode inquiry juga sesuai dalam pembelajaran sejarah. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Penggunaan model pembelajaran cooperatif learning menempatkan guru sebagai fasilitator, director-motivator dan evaluator bagi siswa dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan berfikir kritis, agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu berinteraksi sosial dengan masyarakat.


Kurikulum sejarah merupakan suatu konsep atau kontrak yang merencanakan pendidikan sejarah bagi sekelompok penduduk usia muda tertentu yang mengikuti jenjang pendidikan tertentu. Tujuan dari lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu menentukan konsep pendidikan sejarah yang harus dikembangkan bagi peserta didik lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu kurikulum pendidikan sejarah digambarkan dalam bentuk tujuan, materi/pokok bahasan, cara belajar peserta didik, dan asessmen hasil belajar baik dalam bentuk perencanaan tertulis maupun imlementasinya. Untuk kemudian dilakukan evaluasi kurikulum untuk mengetahui keberhasilan atau kagagalan kurikulum dalam mencapai tujuan (Hasan dalam Nursam, dkk. (ed)., 2008:421).


Untuk dapat kembali mengajarkan sejarah secara baik dan menarik, pendidik mempunyai keleluasaan mengolah dan menata materi yang ada. Sudah barang tentu tidak mungkin topik yang ada dalam kurikulum dapat diselesaikan dengan alokasi waktu yang tersedia. Untuk itulah bagaimana pendidik mengontrol berbagai materi pengajaran yang memungkinkan dipelajari di luar kelas. Kurikulum yang baik untuk kelas tertentu adalah yang cocok, terencana dengan baik, sesuai, menyajikan pemikiran yang bijaksana dan sistematis. Tujuan kurikulum adalah membuka peluang melalui perencanaan yang bijaksana bagi tumbuhkembangnya mata pelajaran dan para siswanya (Hariyono, 1995:172 ; Kochar, 2008:68).


Sesuai dengan ketetapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19 tahun 2005, maka pengembanagn kurikulum pendidikan sejarah dimasa mendatang adalah tanggungjawab satuan pendidikan. Artinya, pengembangan kurikulum pendidikan sejarah SD, SMP, SMA menjadi tanggungjawab masing-masing sekolah tersebut. Melalui pengembangan dan penempatan sejarah lokal sebagai materi kurikulum yang dasar, terlepas apakah materi tersebut dikemas dalam mata pelajaran sejarah ataukah mata pelajaran lain. Posisi materi sejarah lokal dalam kurikulum dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat (Hasan, 2007:8-13). Kurikulum sejarah tersebut harus mampu mengembangkan kualitas manusia Indonesia masa mendatang, yaitu (1) semangat yang kuat, (2) kemampuan berpikir baik yang bersifat proaktif maupun reaktif (3) memiliki kemampuan mencari, memilih, menerima, mengolah dan memanfaatkan informasi melalui berbagai media (4) mengambil inisiatif (5) tingkat kreativitas yang tinggi dan (6) kerjasama yang tinggi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998:130).


Sedangkan untuk mengatasi permasalahan buku teks harus ada kriteria yang baik. Salah satu kriteria buku cetak yang baik menurut Kochar (2008) adalah buku cetak harus bersih dari indoktrinasi. Buku cetak harus menyajikan pandangan yang adil tentang berbagai macam ide yang disampaikan pada fase kehidupan tertentu. Buku ini harus tidak mengandung sekumpulan pendapat yang sempit, tidak mengandung terlalu banyak nasionalisme hingga cenderung membelenggu, kaku, dan resmi. Buku ini harus tidak menanamkan kebiasaan memberikan tanggapan secara spontan tanpa berpikir terlebih dahulu, penilaian yang menyakitkan dan tanggapan yang emosional. Pandangan yang bias dan prasangka penulis harus tidak tercermin didalam lembaran buku cetak. Buku cetak yang dipergunakan siswa harus mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak ada yang lain selain kebenaran.


Ada bahaya dibalik pemakaian buku cetak tunggal karena akan menciptakan batasan-batasan. Siswa cenderung mengembangkan ide yang salah bahwa sejarah sama artinya dengan buku cetak. Dan sebagus apapun buku tersebut tidak akan cukup untuk mendukung siswa dalm belajar. Jadi, saran alternatifnya adalah gunakan buku cetak tunggal sebagi pendukung, dan sediakan serangkaian buku cetak lainnya yang masing-masing mewakili subjek permasalahan dari sudut pandang yang berbeda. Cara ini akan meminimalkan kecenderungan untuk bergantung sepenuhnya pada buku cetak. Selain itu, siswa akan mampu membandingkan dan menyelaraskan sudut-sudut pandang yang berbeda (Kochar, 2008:175).


Sejarah haruslah diinterpretasikan seobjektif dan sesederhana mungkin. Ini dapat terlaksana hanya jika guru sejarah memilki beberapa kualitas pokok. Menurut Kochar (2008:393-395) kualitas yang harus dimilki guru sejarah adalah penguasaan materi dan penguasaan teknik. Dalam penguasaan materi, guru sejarah harus lengkap dari segi akademik. Meskipun ia mengajar kelas-kelas dasar, guru sejarah harus sekurang-kurangnya bergelar sarjana dengan spesialisasi dalam periode tertentu dalam sejarah. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, sebagi tambahan untuk subjek yang menjadi spesialisasinya, guru sejarah harus dapat memasukkan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Setiap guru harus sejarah harus memperluas dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait seperti bahasa modern, sejarah filsafat, sejarah sastra, dan geografi. Dalam penguasaan teknik, guru sejarah harus meguasai berbagai macam metode dan teknik dalam pembelajaran sejarah. Ia harus menciptahkan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan agar proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan cepat dan baik.


Pendidikan dan pembinaan guru perlu ditingkatkan untuk menghasilkan guru yang bermutu dan dalam jumlah yang memadai, serta perlu ditingkatkan pengembangan karier dan kesejahteraannya termasuk pemberian penghargaan bagi guru yang berprestasi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998: 129). Maka dari itu secara professional, guru sejarah harus memilki pemahaman tentang hakikat pembelajaran sejarah, tujuan pembelajaran sejarah, kompetensi-kompetensi apa yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, nilai-nilai apa yang dibutuhkan dan dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, sebelum nantinya guru dapat menentukan metode atau pendekatan yang digunakan (Anggara, 2007:102-103).




DAFTAR PUSTAKA


Alfian, Magdalia. 2007. ‘Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi’.
            Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia   
             (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007

Anggara, Boyi. 2007. ‘Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah- Masalah Sosial             Kontemporer’. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan        Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang,          16 April 2007

Gunawan, Restu (ed). 1998. Simposium Pengajaran Sejarah (kumpulan makalah diskusi). Jakarta : Depdikbud

Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya

Hasan, Hamid S. 2007. ‘Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi’. Makalah.        Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-       Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007

Kochar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta : Grasindo

Martanto, SD, dkk. 2009. ‘Pembelajaran Sejarah Berbasis Realitas Sosial Kontemporer Untuk            Meningkatkan Minat Belajar Siswa’. PKM-GT. Semarang. Tidak Dipublikasikan

Nursam, M. dkk (ed). 2008. Sejarah yang Memihak : Mengenang Sartono Kartodirdjo.     Yogyakarta : Ombak

Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak

Purwanto, Bambang dan Adam AW. 2005. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta.            Ombak
Widja, I Gde. 1989. Dasar - Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah.     Jakarta : Debdikbud